MASYARAKAT MADANI
BAB
I
PENDAHULUAN
Masyarakat
madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil
society
yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam
ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada
acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang
diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat
yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju.
Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan
kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut
Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena
sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan
menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama
sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah
kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi
“khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan
dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2:
185).
Perujukan
terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan
pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang
menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf
nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang
kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran
[3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang
direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang
baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam
rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi
bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan
saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain,
seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak
meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak
melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Kita
juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak
mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak
meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat
untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar
kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada
masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka
kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
Konsep
masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan
maasyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan
mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang
kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
BAB
II
MASYARAKAT
MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT
2.1
Konsep Masyarakat Madani
Konsep
“masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman
konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan
istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh
Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani
merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi
Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis
ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim
modern.
Makna
Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil
society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah
pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali
menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya.
Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state).
Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir
Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini
mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan
otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry
Diamond, 2003: 278).
Antara
Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan
untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari
subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan
masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil
society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan
sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan
lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society
merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari
gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan
Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang
rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir
dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif
mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang
terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral
transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif,
2004: 84).
Masyarakat
madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti
atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk
kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau
masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer.
Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering
digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which
takes place outside of government and the market.” Merujuk pada
Bahmueller (1997).
2.1.1
Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat
madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan
teknologi.
Allah
SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya
dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya
bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman
mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha
Pengampun”.
2.1.2
Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada
dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai
masyarakat madani, yaitu:
1)
Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2)
Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah
antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah
yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj.
Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk
saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial,
menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW
sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya
untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya.
2.1.3
Karakteristik Masyarakat Madani
Ada
beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1.
Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif
kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2.
Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang
mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan
alternatif.
3.
Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara
dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.
Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena
keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan
masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5.
Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh
rejim-rejim totaliter.
6.
Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga
individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri.
7.
Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial
dengan berbagai ragam perspektif.
8.
Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang
beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan
sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9.
Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu
maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10.
Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang
dapat mengurangi kebebasannya.
11.
Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang
telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa
terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13.
Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki
kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu
pengetahuan untuk umat manusia.
14.
Berakhlak mulia.
Dari
beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat
madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya
menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat
dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya
memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara
untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun
demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi,
yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep
yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan
perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di
negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat
madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi
masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan
demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan
democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung
nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil
resilience).
Apabila
diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat
madani sbb:
1.
Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam
masyarakat.
2.
Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail
capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan
tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial
antar kelompok.
3.
Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan
kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4.
Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan
lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana
isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5.
Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya
sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6.
Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan
lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif
dan berkeadilan sosial.
7.
Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan
kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi
antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa
prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada
jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme”
yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti
demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain,
ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses
mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu
tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi
sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1.
Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti
prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun
yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang
mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip
nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2.
Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling
penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan
penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang
memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka
dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter
etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya.
Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden
(2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan,
pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”
Sebaliknya,
rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu
kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering
diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara
genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi
ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan
struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap
dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras
terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya
menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi
ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan
pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3.
Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang
berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan,
kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki
kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan
potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau
mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Konsep
Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan
untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural.
Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri
ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan
ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu
kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak
tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih
diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi.
Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis
kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil,
agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun
masyarakat bangsa.
Masyarakat
Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang
mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya
Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan
masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai
masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama
dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan
dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan
maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari
masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan
sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua
bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang
sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih.
Gellner:1996).
Seperti
Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam
masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari
pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya.
Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia
juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling
mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan
masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep
masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit
ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam
konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi
dan mungkin.
Selanjutnya
sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana
perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata
politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan
ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik
dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini
tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran
Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan
dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan
musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori
peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme
mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan
syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu
Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga
keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi
dunianya, masyarakat sipil.
Pada
kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat
Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis
kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya
Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung
muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan
analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan
masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat
dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil
merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang
sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan
para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani
tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah
(kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari
akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi
Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara
historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki
hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi
Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di
Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa
menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat
madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai
dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat
berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan
motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.
Meski
Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang
ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai
prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah
masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat
yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan
menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
Prinsip
terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad
Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut
terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan
penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan
cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang
dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah
mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang
cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial.
Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk
membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan
perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa,
Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga
termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam
pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam
masyarakat madani. Pertama,
diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi
sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau,
pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan
Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT
(sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat
(49) ayat 13.
Dengan
kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given)
dalam kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia
Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif
dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator
terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang
terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad
Imarah:1999).
Satu
hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban
yang kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap
inklusif dan mempunyai kemampuan (ability)
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan
identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap
terjaga.
Kedua,
adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh).
Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara
non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap
suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada
dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam
tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama.
Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak
hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama lain.
Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah.
Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik
dalam firman Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108.
Ketiga,
adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih
dikenal dengan istilah
musyawarah.
Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan
musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah
terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga
terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat
Al-Mujadilah:11).
Ketiga
prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan
terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks
hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk
mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.
2.2
Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam
sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat
Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam
menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan
teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang
lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul.
Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina,
Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
2.2.1
Kualitas SDM Umat Islam
Dalam
Q.S. Ali Imran ayat 110
Artinya:
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik.
Dari
ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat Islam
adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah
ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan
kualitas SDMnyadibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat
Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif,
potensial, bukan riil.
2.2.2
Posisi Umat Islam
SDM
umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul.
Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik,
ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu
menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam
lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga
belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang
berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan
ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh
Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
2.3
Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Menurut
ajaran Islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan
ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah). Setiap ikatan
atau hubungan antara seseorang dengan orang lain dan penghasilannya
yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan
yang tidak Islami. Dengan demikian realitas dari adanya hak milik
mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal ini berarti
mengingkari tauhid. Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya ada
pada Allah saja. Hal ini berarti hak milik yang ada pada manusia
hanyalah hak milik nisbi atau relatif. Islam mengakui setiap individu
sebagai pemilik apa yang diperolehnya melalui bekerja dalam
pengertian yang seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk
mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah ditentukan
secara khusus dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan
batas-batas hak milik dalam Islam sesuai dengan kodrat manusia itu
sendiri, yaitu dengan sistem keadilan dan sesuai dengan hak-hak semua
pihak yang terlibat di dalamnya.
Di
dalam ajaran Islam terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak
seorangpun atau sekelompok orangpun yang berhak mengeksploitasi orang
lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh memisahkan diri
dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi
di kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai satu
keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah
dan di depan hukum yang diwahyukannya. Konsep persaudaraan dan
perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum
tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi
yang memungkinkan setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap
masyarakat.
Allah
melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Syu’ara
ayat 183:
Artinya:
Dan
janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu
merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;
Dalam
komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan
ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan
bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi
pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial
tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama
tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi
ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, akrena setiap orang
tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat.
Dalam
Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan:
Artinya:
Dan
Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal
rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau
memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar
mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari
nikmat Allah.
Dalam
ukuran tauhid, seseorang boleh menikmati penghasilannya sesuai dengan
kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya. Kelebihan
penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai sedekah
karena Alah.
Banyak
ayat-ayat Allah yang mendorong manusia untuk mengamalkan sedekah,
antara lain Q.S. An-nisa ayat 114:
Artinya:
Tidak
ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah,
atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.
dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah,
Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Dalam
ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara,
yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan
manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan
serentak. Dengan melaksanakan kedua hungan itu hidup manusia akan
sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.
2.4
Manajemen Zakat
2.4.1
Pengertian dan Dasar Hukum Zakat
Zakat
adalah memberikan harta yang telah mencapai nisab dan haul kepada
orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Nisab
adalah ukuran tertentu dari harta yang dimiliki yang mewajibkan
dikeluarkannya zakat, sedangkan haul adalah berjalan genap satu
tahun. Zakat juga berarti kebersihan, setiap pemeluk Islam yang
mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan (nisab) zakat,
wajiblah membersihkan hartanya itu dengan mengeluarkan zakatnya.
Dari
sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti
berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Segala sesuatu yang bertambah
disebut zakat. Menurut istilah fikih zakat berarti sejumlah harta
tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak.
Orang yang wajib zakat disebut “muzakki”,sedangkan
orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq”
.Zakat
merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa
untuk mengalahkan kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta
kemurahan hati.
Di
dalam Alquran Allah telah berfirman sebagai berikut:
Al-Baqarah:
110
Artinya:
“Dan
Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang
kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada
sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu
kerjakan”.
At-Taubah:
60
Artinya:
“Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan
orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya
akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan)”.
At-Taubah:
103
Artinya:
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Adapun
hadist yang dipergunakan dasar hukum diwajibkannya zakat antara lain
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut:
Dari
Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’az ke Yaman, ia
bersabda: “Sesungguhnya
engkau akan datang ke satu kaum dari Ahli Kitab, oleh karena itu
ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan
sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Kemudian jika mereka taat
kepadamu untuk ajakan itu, maka beritahukannlah kepada mereka, bahwa
Allah telah mewajibkan kepada mereka atas mereka salat lima kali
sehari semalam; lalu jika mereka mentaatimu untuk ajakan itu, maka
beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas
mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka; kemudian jika
mereka taat kepadamu untuk ajakan itu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap kehormatan harta-harta mereka, dan takutlah terhadap doa
orang yang teraniaya, karena sesungguhnya antara doa itu dan Allah
tidak hijab (pembatas)”.
Adapun
harta-harta yang wajib dizakati itu adalah sebagai berikut:
1.
Harta yang berharga, seperti emas dan perak.
2.
Hasil tanaman dan tumbuh-tumbuhan, seperti padi, gandum, kurma,
anggur.
3.
Binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, dan domba.
4.
Harta perdagangan.
5.
Harta galian termasuk juga harta rikaz.
Adapun
orang yang berhak menerima zakat adalah:
1.
Fakir, ialah orang yang tidak mempunyai dan tidak pula berusaha.
2.
Miskin, ialah orang yang tidak cukup penghidupannya dengan
pendapatannya sehingga ia selalu dalam keadaan kekurangan.
3.
Amil, ialah orang yang pekerjaannya mengurus dan mengumpulkan zakat
untuk dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya.
4.
Muallaf, ialah orang yang baru masuk Islam yang masih lemah imannya,
diberi zakat agar menambah kekuatan hatinya dan tetap mempelajari
agama Islam.
5.
Riqab, ialah hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan
berusaha untuk menebus dirinya agar menjadi orang merdeka.
6.
Gharim, ialah orang yang berhutang yang tidak ada kesanggupan
membayarnya.
7.
Fi sabilillah, ialah orang yang berjuang di jalan Allah demi
menegakkan Islam.
8.
Ibnussabil, ialah orang yang kehabisan biaya atau perbekalan dalam
perjalanan yang bermaksud baik (bukan untuk maksiat).
2.4.2
Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia
Sejak
Islam memsuki Indonesia, zakat, infak, dan sedekah merupakan sumber
sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam dan perjuangan bangsa
Indonesia melawan penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda khawatir
dana tersebut akan digunakan untuk melawan mereka jika masalah zakat
tidak diatur. Pada tanggal 4 Agustus 1938 pemerintah Belanda
mengeluarkan kebijakan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan zakat
dan fitrah yang dilakukan oleh penghulu atau naib sepanjang tidak
terjadi penyelewengan keuangan. Untuk melemahkan kekuatan rakyat yang
bersumber dari zakat itu, pemerintah Belanda melarang semua pegawai
dan priyai pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan
itu memberikan dampak yang sangat negatif bagi pelakasanaan zakat di
kalangan umat Islam, karena dengan sendirinya penerimaan zakat
menurun sehingga dana rakyat untuk melawan tidak memadai. Hal inilah
yang tampaknya diinginkan Pemerintah Kolonial Belanda.
Setelah
Indonesia merdeka, di Aceh satu-satunya badan resmi yang mengurus
masalah zakat. Pada masa orde baru barulah perhatian pemerintah
terfokus pada masalah zakat, yang berawal dari anjuran Presiden
Soeharto untuk melaksanakan zakat secara efektif dan efisien serta
mengembangkannya dengan cara-cara yang lebih luas dengan pengarahan
yang lebih tepat. Anjuran presiden inilah yang mendorong dibentuknya
badan amil di berbagai propinsi.
2.4.3
Manajemen Pengelolaan Zakat Produktif
Sehubungan
pengelolaan zakat yang kurang optimal, sebagian masyarakat yang
tergerak hatinya untuk memikirkan pengelolaan zakat secara produktif,
sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada umumnya dan
masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, pada tahun 1990-an,
beberapa perusahaan dan masyarakat membentuk Baitul Mal atau lembaga
yang bertugas mengelola dan zakat, infak dan sedekah dari karyawan
perusahaan yang bersangkutan dan masyarakat. Sementara pemerintah
juga membentuk Badan Amil Zakat Nasional.
Dalam
pengelolaan zakat diperlukan beberapa prinsip, antara lain:
1.
Pengelolaan harus berlandasakn Alquran dan Assunnah.
2.
Keterbukaan. Untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga amil zakat, pihak pengelola harus menerapkan manajemen yang
terbuka.
3.
Menggunakan manajemen dan administrasi modern.
4.
Badan amil zakat dan lembaga amil zakat harus mengelolah zakat dengan
sebaik-baiknya.
Selain
itu amil juga harus berpegang teguh pada tujuan pengelolaan zakat,
antara lain:
1.
Mengangkat harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar
dari kesulitan dan penderitaan.
2.
Membantu pemecahan masalah yang dihadapi oleh para mustahik
3.
Menjembatani antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu masyarakat.
4.
Meningkatkan syiar Islam
5.
Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara.
6.
Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat.
2.4.4
Hikmah Ibadah Zakat
Apabila
prinsip-prinsip pengelolaan dan tujuan pengelolaan zakat dilaksanakan
dipegang oleh amil zakat baik itu berupa badan atau lembaga, dan
zakat, infak, dan sedekah dikelola dengan manajemen modern dengan
tetap menerapkan empat fungsi standar manajemen, tampaknya sasaran
zakat, infak maupun sedekah akan tercapai.
Zakat
memiliki hikmah yang besar, bagi muzakki, mustahik, maupun bagi
masyarakat muslim pada umumnya. Bagi muzakki zakat berarti mendidik
jiwa manusia untuk suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat
kikir, sombong dan angkuh yang biasanya menyertai pemilikan harta
yang banyak dan berlebih.
Bagi
mustahik, zakat memberikan harapan akan adanya perubahan nasib dan
sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan suudzan terhadap
orang-orang kaya, sehingga jurang pemisah antara si kaya dan si
miskin dapat dihilangkan.
Bagi
masyarakat muslim, melalui zakat akan terdapat pemerataan pendapatan
dan pemilikan harta di kalangan umat Islam. Sedangkan dalam tata
masyarakat muslim tidak terjadi monopoli, melainkan sistim ekonomi
yang menekankan kepada mekanisme kerja sama dan tolong-menolong.
2.5
Manajemen Wakaf
Wakaf
adalah salah satu bentuk dari lembaga ekonomi Islam. Ia merupakan
lembaga Islam yang satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah,
sedangkan di sisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Wakf muncul dari
satu pernyataan dan perasaan iman yang mantap dan solidaritas yang
tinggi antara sesama manusia. Dalam fungsinya sebagai ibadah ia
diharapkan akan menjadi bekal bagi si wakif di kemudian hari, karena
ia merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya akan terus menerus
mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Sedangkan dalam fungsi
sosialnya, wakaf merupakan aset amat bernilai dalam pembangunan umat.
2.5.1
Pengertian Wakaf
Istilah
wakaf beradal dari “waqb” artinya menahan. Menurut H. Moh. Anwar
disebutkan bahwa wakaf ialah menahan sesuatu barang daripada
dijual-belikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh yang empunya,
guna dijadikan manfaat untuk kepentingan sesuatu yang diperbolehkan
oleh Syara’ serta tetap bentuknya dan boleh dipergunakan diambil
manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang meneriman wakafan),
perorangan atau umum.
Adapun
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang menerangkan tentang wakaf ini
ialah:
Al-Baqarah
ayat 267:
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Al-Hajj
ayat 77
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
Abu
Hurairah r.a. menceritakan, bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika
seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah masa ia melanjutkan
amal, kecuali mengenai tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (waqafnya)
selama masih dipergunakan, ilmunya yang dimanfaatkan masyarakat, dan
anak salehnya yang mendo’akannya.” (Riwayat Muslim).
Abu
Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasullullah SAW mengutus Umar untuk
memungut zakat…… di dalam hadist itu terdapat pula Khalid
mewakafkan baju besi dan perabot perangnya di jalan Allah.
2.5.2
Rukun Wakaf
Adapun
beberapa rukun wakaf ialah:
1)
Yang berwakaf, syaratnya:
-
Berhak berbuat kebaikan walau bukan Isalam sekalipun
-
Kehendak sendiri, ridak sah karena dipaksa
2)
Sesuatu yang diwakafkan, syaratnya:
-
Kekal zakatnya, berarti bila diambil manfaatnya, barangnya tidak
rusak.
-
Kepunyaan yang mewakafkan walaupun musya (bercampur dan tidak dapat
dipisahkan dari yang lain).
3)
Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).
4)
Lafadz wakaf, seperti: “saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin
dan sebagainya.
2.5.3
Syarat Wakaf
Syarat
wakaf ada tiga, yaitu:
1)
Ta’bid, yaitu untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya.
2)
Tanjiz, yaitu diberikan waktu ijab kabul.
3)
Imkan-Tamlik, yaitu dapat diserahkan waktu itu juga
2.5.4
Hukum Wakaf
1)
Pemberian tanah wakaf tidak dapat ditarik kembali sesudah
diamalkannya karena Allah.
2)
Pemberian harta wakaf yang ikhlas karena Allah akan mendapatkan
ganjaran terus-menerus selagi benda itu dapat dimanfaatkan oleh umum
dan walaupun bentuk bendanya ditukar dengan yang lain dan masih
bermanfaat.
3)
seseorang tidak boleh dipaksa untuk berwakaf karena bisa menimbulkan
perasaan tidak ikhlas bagi pemberiannya.
BAB
III
KESIMPULAN
Untuk
mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat
maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu
perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat
menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat
sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak
ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil
dari pembahasan materi yang ada di bab II ialah bahwa di dalam
mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah
kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya kita harus
mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan
bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut,
serta ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum
kita yakni pada zaman Rasullullah.
Selain
memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada
potensi manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia.
Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung kita untuk
mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang
dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin
baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang
memiliki potensi yang kurang di dalam membangun agamanya maka
hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena itu, marilah kita
berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui
latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.
Adapun
di dalam Islam mengenal yang namanya zakat, zakat memiliki dua fungsi
baik untuk yang menunaikan zakat maupun yang menerimanya. Dengan
zakat ini kita dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat higga
mencapai derajat yang disebut masyarakat madani. Selain zakat, ada
pula yang namanya wakaf. Wakaf selain untuk beribadah kepada Allah
juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan antara seorang muslim
dengan muslim lainnya. Jadi wakaf mempunyai dua fungsi yakni fungsi
ibadah dan fungsi sosial.
Maka
diharapkan kepada kita semua baik yang tua maupun yang muda agar
dapat mewujudkan masyarakat madani di negeri kita yang tercinta ini
yaitu Indonesia. Yakni melalui peningkatan kualiatas sumber daya
manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi, serta menerapkan budaya
zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan syariat
Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa
ini secara perlahan. Demikianlah makalah rangkuman materi yang dapat
kami sampaikan pada kesempatan kali ini semoga di dalam penulisan ini
dapat dimengerti kata-katanya sehingga tidak menimbulkan
kesalahpahaman di masa yang akan datang.
Wassalamu’alaiku
wr.wrb.
DAFTAR
PUSTAKA
Suito,
Deny. 2006. Membangun
Masyarakat Madani.
Centre For Moderate Muslim Indonesia: Jakarta.
Mansur,
Hamdan. 2004. Materi
Instrusional Pendidikan Agama Islam.
Depag RI: Jakarta.
Suharto,
Edi. 2002. Masyarakat
Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam
Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan.
STKS Bandung: Bandung.
Sosrosoediro,
Endang Rudiatin. 2007. Dari
Civil Society Ke Civil Religion.
MUI: Jakarta.
Sutianto,
Anen. 2004. Reaktualisasi
Masyarakat Madani Dalam Kehidupan.
Pikiran Rakyat: Bandung.
Suryana,
A. Toto, dkk. 1996. Pendidikan
Agama Islam.
Tiga Mutiara: Bandung
Sudarsono.
1992. Pokok-pokok
Hukum Islam.
Rineka Cipta: Jakarta.
Tim
Icce UIN Jakarta. 2000. Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Prenada Media: Jakarta.
No comments:
Post a Comment